Yap Tjwan Bing yang Melompat Pagar

Jangan nikah sama perempuan Sunda, males, terus matre lagi.”

” Biasa laah, orang Batak kan jago ngomong, makanya dia jadi pengacara.”

Pernah dengar kalimat-kalimat seperti itu? Saya bertaruh pasti semua sudah pernah dengar kalimat sejenis, meskipun dengan variabel suku, sifat dan konotasi yang bisa dirubah sesuai kebutuhan. YAP. Stereotype.

Meskipun di masyarakat kota besar atau daerah kosmopolit lain stereotype itu sudah terkikis, tapi tidak bisa disangkal bahwa prasangka-prasangka (baik dalam konotasi buruk maupun baik) antar etnis, suku, ataupun ras masih banyak tertanam dan tumbuh subur di banyak entitas di negara kita tercinta ini.

Warga negara keturunan China merupakan korban dengan kisah tersedih dari efek buruk prasangka-prasangka diferensial disepanjang sejarah nusantara, khususnya di tanah Jawa. Tahun 1740, VOC yang menerima perlawanan dari para orang China, baik kuli maupun pengusaha kaya membantai 10.000 diantara mereka (dimana jumlah itu lebih dari 95% dari orang China di Batavia saat itu). Peristiwa itu terkenal dengan nama Peristiwa Angke, dan sudah banyak penelitian yang mengkaji mengenai peristiwa itu. Bahkan Remi Silado membuat drama dengan latar peristiwa itu. Lalu dilanjutkan dengan peristiwa Tangerang 1946-1948, peristiwa 1963 di Bandung, dan banyak lagi hingga terakhir pada kerusuhan Mei 1998.

Berbagai peraturan memberatkan kemudian dibebankan pada orang China yang berdiam. Dari peraturan pajak, administrasi, hingga surat jalan. Kehidupan mereka pun “dikurung” di wilayah-wilayah khusus dengan diawasi para letnan dan kapten China. Penguasa melakukan proses disintegrasi yang disengaja antar suku bangsa yang berdiam di Hindia, menjadikan mereka (entah atas alasan rasial ataupun pribadi/kelompok) sebagai the only one that rule. Hal yang sama juga dilakukan terhadap etnis lain tanpa kecuali.

Perkembangannya sebenarnya mudah ditebak. Seperti dua orang yang tidak pernah berkomunikasi, tentu akan saling mencurigai. Begitu juga dengan perkembangan hubungan orang keturunan/totok China dengan pribumi. Pemisahan yang diatur oleh hukum membuat hubungan ini menjadi begitu profesional dan tidak akrab.

Namun ada banyak pula contoh langka antitesis. Dimana interaksi yang terjadi konstruktif dalam konteks nasionalisme Indonesia. Salah satu contoh terbaik interaksi ini adalah Yap Tjwan Bing.

Yap lahir di Solo, 31 Oktober 1910. Putra dari pasangan Yap Yoe Dhiam dan Tan Tien Nio yang berdagang di daerah Slompretan. Pada usia 7 tahun ia tinggal pada keluarga Belanda bernama Killian untuk belajar bahasa Belanda dan sekolah di HCS Kristen Gembelekan, Solo. Ia menamatkan pendidikan MULO di Madiun, satu angkatan dengan Ir. Rooseno, salah satu tokoh penting Indonesia lainnya. Kemudian karena ia bukan berasal dari keluarga China elit maka ia tidak dapat melanjutkan pelajarannya ke HBS melainkan ke AMS B di Malang. Tak lama ia pindah ke AMS Kristen di Jakarta, dimana ia bertemu dengan salah satu calon ujung tombak pergerakan, Amir Sjarifudin.

Sejak umur 18 tahun sebenarnya ia sudah bersimpati pada pergerakan nasional. Kesibukan menuntut ilmu dan menjadi pemain sepakbola amatir di klub Hok Sang Hwee menjauhkannya dari usaha mendekati dunia politik pergerakan. Namun simpati tersebut berubah menjadi kecintaan saat pada tahun 1932 Yap bersekolah di Negeri Belanda. Di Belanda Yap aktif bergaul dengan para aktivis Perhimpunan Indonesia yang dipimpin Moh.Hatta dan Iwa Kusumasumantri, meskipun tidak bergabung dengan mereka. Saat para pemimpin Perhimpunan Indonesia ditangkap dan disidangkan atas kegiatan mereka pun, Yap menghadiri sidang para pemimpin perhimpunan. Kesadaran politik nasional Indonesia Yap mulai tumbuh pesat pada periode ini. Meskipun ia belajar untuk memperoleh gelar Drs. pada bidang farmasi di Amsterdam, namun ia malah makin suka membaca buku-buku politik.

Studinya selesai tepat pada saat dimulainya Perang Dunia ke-II tahun 1939. Yap pun memilih pulang segera ke Hindia. Di Hindia ia bekerja di Apotik Suniaraja, Bandung.Di Bandung lah Yap benar-benar terjun langsung dalam politik pergerakan. Ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno dan membantu di bidang ekonomi.Ketertarikan Yap terhadap Marhaenisme Soekarno membuatnya loyal pada Soekarno sampai masa kemerdekaan. Tak lama setelah itu, tahun 1942 Jepang datang. Ketika dibentuk badan-badan baru buatan Jepang yang dipakai sebagai “alat” perjuangan oleh para tokoh seperti Soekarno dan Hatta, Yap pun ikut serta, khususnya dalam Gerakan Angkatan Baru Indonesia dan Gerakan Rakyat Baru.

Kemudian pada masa “kepepet”, Jepang mewujudkan janjinya memberi jalan bagi kemerdekaan Indonesia lewat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yap pun diangkat menjadi anggota, mewakili etnis China di Indonesia. Juga saat perkembangannya BPUPKI dirubah menjadi Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI), Yap pun masih menjadi anggota.

Dalam buku Peranakan idealis: dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya karya Yunus Yahya menyebutkan, saat peristiwa proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Yap sedang berada di rumahnya di Bandung, yang terletak di Jalan Naripan no.31 bersama A.H Nasution dan tokoh-tokoh lain. Disebutkan bahwa Yap dan kawan-kawan merayakan kemerdekaan dengan bersulang dan bergembira. Catatan yang cukup aneh mengingat berita proklamasi tentunya sulit disebarluaskan keluar Jakarta karena pengawasan ketat Jepang.

Yap ikut dalam rapat perumusan Undang-undang Dasar 1945 yang diselenggarakan PPKI yang selesai pada 18 Agustus 1945. Perlu dicatat bahwa pembentukan BPUPKI dan PPKI sendiri diusahakan semaksimal mungkin mengakomodir setiap kepentingan kelompok-kelompok calon rakyat Indonesia. Setelah 27 Agustus PPKI dibubarkan dan dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai parlemen sementara, nama Yap Tjwan Bing pun ada didalamnya, lagi-lagi sebagai wakil golongan China. Saat pemerintahan pindah ke Jogjakarta, Yap turut hijrah sebagai anggota DPR-RI dan kemudian DPR-RIS. Di Jogjakarta ia tinggal di jalan Pakuningratan, berdekatan dengan para tokoh lain seperti Moh.Roem, Tabrani, Ir.Djuanda, dan Ir.Rooseno. Pada masa ini pula atas permintaan Dr. Sardjito ia turut berperan serta dalam pembentukan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada dan menjadi dosen di UGM. Pada masa itu pula ia mendirikan apotik di Jl. Malioboro dan di Bandung bersama Dr. Ir. Tan Sin Hok dan Dr. Tan Peng Ie.

Di Jogjakarta, Yap menjadi besar hatinya akan harapan kehidupan harmonis antar etnis di Indonesia kelak. Yap terpukau akan bagaimana sikap para pemimpin Indonesia dalam berinteraksi dengan rakyat Jogja dan sekitarnya yang multietnis. Yap terutama sekali terpukau dengan usaha bahu-membahu rakyat berbagai etnis dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Golongan China sendiri, diberi tugas mencari suplai onderdil kendaraan, baik pribadi maupun perang dan kereta api, dari wilayah barat Pulau Jawa, yang dikuasai Belanda.

Nasionalisme Yap semakin terwujud dalam gerakan-gerakan politiknya di masa berikutnya. Sebelumnya pada tahun 1948 Yap mendirikan Persatuan Tionghoa, yang pada tahun 1950 dirubah namanya menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia, yang menghimpun orang-orang keturunan China yang bersikap pro-Republik Indonesia. Juga saat pada dekade 50-an Yap ditawari menjadi menteri negara dalam Kabinet Negara Pasundan, negara boneka Belanda di Priangan, Yap menolak tegas, membuktikan komitmennya pada Indonesia. Sampai tahun 1950 Yap tetap menjadi anggota DPR, tetapi bukan lagi mewakili golongan China,tetapi sebagai kader dari Partai Nasional Indonesia, dimana Yap (dengan enggan) menjabat ketua di bidang ekonomi. Pada dekade ini ia juga aktif di Institut Teknologi Bandung sebagai Curator dan turut menjadi anggota Ikatan Apoteker Indonesia yang didirikan tahun 1955.

Namun pada tahun 1963, segala kecintaan dan perjuangan Yap dan kaum China lainnya pada Indonesia mendapat ujian berat. Di bandung terjadi kerusuhan berlatar rasial. Peristiwa seorang mahasiswa ITB yang ribut akibat insiden lalu lintas dengan seorang warga keturunan China tiba-tiba berujung pada keributan massal. Para mahasiswa ITB dan Universitas Padjajaran mempelopori massa merusak dan menjarahi toko-toko, rumah tinggal, dan kendaraan milik warga negara keturunan China.Peristiwa ini diduga merupakan rembetan atas peristiwa serupa di Cirebon beberapa waktu sebelumnya.

Yap Tjwan Bing, salah satu dari founding fathers Republik Indonesia rupanya tidak luput dari aksi tak terpuji ini. Mobil terbaru miliknya yang diparkir di rumah Jalan Cipaganti 32 habis dibakar massa. Demikian pula bungalow yang dimilikinya di Lembang. Dimulailah eksodus besar-besaran warga keturunan China dari Indonesia. Yap tentunya tidak mau ikut meninggalkan tanah airnya, namun ia dan istri mengkhawatirkan putra mereka yang mengidap penyakit polio, bagaimana bila ia juga terkena amuk massa. Pada saat keraguan itu, ada sebuah rekomendasi dari dokter suharso dari Solo, bahwa putra Yap bisa dirawat di luar negeri, karena penyakit polio myelitis yang diidap putra Yap belum bisa ditangani di dalam negeri. Dengan perasaan enggan, akhirnya Yap sekeluarga hijrah ke Los Angeles, Amerika Serikat.

Di Amerika, kesehatan Yap menurun. Tahun 1970 ia terkena stroke. Namun bertahan hingga menghembuskan nafas terakhir tahun 1988. Yap Tjwan Bing, pahlawan Indonesia itu dikembumikan di Rose Hill.

Nama Yap terlupakan selama bertahun-tahun dari pengetahuan umum masyarakat republik yang turut dibidaninya. Sampai pada 22 Februari 2008 Walikota Solo Joko Widodo meresmikan nama Jalan Yap Tjwan Bing, menggantikan nama Jalan Jagalan, pada peringatan Imlek tahun yang sama.

Perjuangan Yap menjadi salah satu bukti bahwa tidak selamanya warga keturunan China dan pribumi harus hidup dalam eksklusivitas masing-masing, dengan urusan masing-masing. Nasionalisme yang terkendali bisa menjadi alat pemersatu. Prasangka-prasangka buatan Belanda sudah ketinggalan jaman, mari kita mulai jaman yang baru, sejarah hubungan warga negara keturunan China dan pribumi yang baru, hubungan antar etnis yang baru, hubungan pusat-daerah yang tidak vampirism, dan hubungan antar manusia yang saling menghargai.

Yuk ah!

Berdasarkan pengalaman saya, terbukti bahwa ganti nama dari nama Cina menjadi nama Indonesia tidak menentukan kepatriotan seseorang. Saya berpendapat bahwa mereka yang telah melepaskan nama Cina nya belum tentu merupakan orang yang cinta Negara Indonesia dan sanggup menjadi Patriot Bangsa. Namun hal ini tidak berarti bahwa mereka yang tetap memakai nama Cina itu kurang cinta kepada tanah air tempat mereka dilahirkan yaitu Negara Indonesia tercinta, yang lebih penting dari pada mengganti nama adalahb perubahan sikap mental baik dari golongan pribumi maupun non pribumi, secara mental mereka harus merasa benar – benar sebagai Bangsa Indonesia yang berbentuk Republik dan berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila. (Yap Tjwan Bing)

Sumber :

About oomindra

Marketing, antusias terhadap sejarah, musik, dan beberapa hal lain
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment