P.F. Dahler dan Oeroesan Peranakan

Dahler0

Kepada  gundukan tanah baru di Pemakaman Mrican, Jogjakarta itu, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara berucap, “Walau masih banyak kekurangan, tetapi jangan hendaknya saudara berkecil hati meninggalkan kita, karena kita tentu akan menyelesaikan usaha yang masih belum sudah ini, dan percayalah saudara bahwa kita tentu akan dapat mencapai apa yang kita idamkan bersama”. Bersamaan dengan ucapan itu, menunduklah orang-orang nomor penting Republik Indonesia, Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta beberapa menteri, Guru-guru besar Universitas Gajah mada, hingga  wakil-wakil partai lintas ideologi; Partai Komunis Indonesia, Partai Nasionalisme Indonesia, dan Masyumi.[1]

Sebelum genap tiga tahun Republik Indonesia diproklamirkan, telah berpulang seorang pejuang tangguh, dengan curiculum vitae perjuangan yang mengagumkan dan berpengaruh bagi berdirinya republik ini. Pejuang yang mulanya aktif memperjuangkan nasionalisme golongan Indo (Eurasia), lalu meleburkan nasionalisme Indo tersebut kedalam nasionalisme Indonesia yang mulai berkembang. Jurnalis media berbahasa Melayu, anggota Volksraad, juga anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Juga berperan besar terhadap perumusan dan pengajaran bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, hingga ditunjuk sebagai kepala Balai Bahasa yang pertama.

Pieter Frederich Dahler, atau umumnya dikenal sebagai P.F. Dahler, atau Frits Dahler (nantinya berganti nama menjadi Amir Dachlan), lahir di Semarang pada 21 Februari 1883 dari Ayah seorang Belanda, dan Ibu seorang Indo Eurasia. Sejauh ini tidak ditemukan sumber latar belakang keluarga Dahler, juga mengenai kisah masa kecil dan sejarah pendidikan Dahler. Dahler meniti karir sebagai pegawai pemerintahan, yang mengantarnya hingga jabatan Controleur di Volkslectuur/Balai Poestaka[2]. Ketika Balai Poestaka mendirikan Divisi Penerjemahan tahun 1919 untuk keperluan penerjemahan karya tulis kedalam bahasa Melayu, Dahler dipilih untuk mengepalai bagian tersebut. [3]Dahler masih tercatat sebagai pegawai di Balai Pustaka hingga tahun 1935. [4]

Dahler mulai masuk ke dunia pergerakan nasionalisme Hindia ketika berkenalan dengan aktivis pergerakan nasionalisme Indo E.F.E Douwes Dekker pada tahun 1918, yang kelak dikenal dengan nama Danudirja Setiabudhi. Ia pun bergabung dengan Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo di Insulinde, organisasi lanjutan dari Indische Partij yang terkena represi. Insulinde aktif meneruskan perjuangan Indische Partij, meskipun pada ideologinya makin bergeser kepada konsep nasionalisme Hindia (termasuk didalamnya asimilasi kaum Indo dengan pribumi, sejalan dengan pemikiran Dahler). Meskipun begitu, Insulinde tidak sepenuhnya mengambil jalan non-kooperasi dengan masih terdapatnya wakil di Volksraad. Kepulangan Dekker dan Tjipto menambah lagi kekuatan radikal Insulinde.

Insulinde mulai berbenah merapikan gerakan organisasi, mengkoordinir afdeling-afdeling di berbagai tempat di Jawa. Lalu Insulinde pun mulai mengkoordinir gerakan-gerakan mogok di berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah, yang dipimpin seorang haji radikal eks anggota Sarikat Islam, Haji Misbach. Misbach sanggup menggerakan serangkaian pemogokan buruh di Jawa Tengah, yang berujung dengan penangkapannya Misbach di Surakarta tahun 1919.

Paralel dengan peristiwa diciduknya Misbach, Dahler membantu Dekker untuk membuat reformasi Insulinde.  Dekker menggelar Kongres Kaum Hindia di Semarang tanggal 7-9 Juni 1919, yang mana ia mengungkapkan seruan “revolusi spiritual” dan membentuk front persatuan dengan basis “cita-cita dan ideologi nasional”. Sebagai kendaraan dari cita-cita dan ideologi ini, dibentuklah National Indische Partij – Sarikat Hindia (NIP-SH), yang masih berhaluan keras seperti Indische Partij, yang seperti dikatakan Dekker, adalah sebuah “pernyataan perang”, “sinar yang terang ,melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak Belanda”. [5] Namun dua bulan setelah Misbach, giliran Douwes Dekker kembali ditangkap setelah dituduh mengompori aksi mogok di Polanharjo, Klaten.

Di sisi lain, kaum Indo anggota NIP-SH banyak yang merasa kurang nyaman dengan radikalitas dari partai. Para anggota Indo banyak yang beralih kepada gerakan Indo Europeesch Verbond (IEV), yang dibentuk oleh karib lama Dekker, Karel Zaalberg. Jika Dahler dan Dekker mempunyai cita-cita asimilasi kaum Indo dan Pribumi dalam satu nasionalisme Hindia, cita-cita IEV adalah mempertahankan status kaum Indo andaikata kelak Hindia bisa lepas dari Belanda. Namun demikian, kontrol yang baik dari Tjipto, Suwardi (yang baru kembali dari pengasingan), dan Dahler membuat NIP-SH masih mampu bertahan baik. Tercatat tahun 1922 Dahler menjadi wakil dari NIP-SH di Volksraad hingga NIP-SH bubar tahun 1923.[9]

Di Volksraad, Dahler berkenalan dengan politisi asal Minahasa, Sam Ratulangie. Sembari menjadi editor di Bintang Timoer, bersama psikolog M.Amir dan Ratulangie, Dahler bersepakat membentuk majalah mingguan Penindjauan di Batavia. Mingguan ini kemudian mengambil filosofi sebagai “peninjau” kebijakan-kebijakan kolonial Pemerintah Hindia-Belanda. Sudut pandang ini ternyata menghasilkan sudut pandang oposisi bagi Penindjauan. Tulisan-tulisan kritis bernada keras yang ditujukan pada pemerintah satu persatu mulai diterbitkan Penindjauan. Mingguan ini kemudian diperkuat oleh penulis-penulis muda yang kemudian hari akan menjadi tokoh dalam dunia penulisan Indonesia, seperti Armijn Pane, Sanoesi Pane, dan Achdiat K. Mihardja.[6] Armijn, Sanoesi, dan Achdiat kemudian kelak juga bekerja bersama lagi di Balai Poestaka.

Kebijakan tulisan di Penindjauan membuat pemerintah bersikap represif terhadap media ini, terutama pada Sam Ratulangie, yang tulisan-tulisannya menjadi corong media ini. Sam Ratulangie dikenakan dugaan telah mengkorupsi uang perjalanan dinasnya sebagai anggota Volksraad sebesar 100 Gulden. Tuduhan dan proses hukum yang dikenakan pada Ratulangie menjadi bahan polemik cukup seru antara media-media pro pergerakan dengan media-media pro pemerintah. Ratulangie akhirnya dijatuhi hukuman 4 bulan penjara di Sukamiskin, Bandung pada 1936. Di dalam Penjara Sukamiskin ini Ratulangie berhasil membuat sebuah karya geopolitik yang cukup visioner pada masa itu, Indonesia in den Pasific. Dimana didalam salah satu bagian Ratulangie menulis tentang keberadaan Jepang dan kemungkinan invasi Jepang ke Hindia Belanda, juga tentang kemungkinan geo-strategi Hindia di masa depan.[7]

Dahler juga disebut pernah mengajar di Ksatriaan Instituut, dan Pergoeroean Rakjat. Ajip Rosidi menulis bahwa Dahler juga pernah mengajar Achdiat K.Mihardja saat duduk di bangku AMS, meskipun belum jelas AMS Bandung ataukah Solo, karena Achdiat pernah berpindah duduk di bangku AMS di kedua kota tersebut. Pada Oktober 1941 Dahler bekerja di Regeeringpubliciteitsdients (Dinas Penyiaran Pemerintah) di bagian penerangan penyiaran bahasa  pribumi dan Melayu-China, serta biro penterjemahan dan penyusunan rekaman pers pribumi dan Melayu China.

Saat Jepang masuk ke Indonesia, mereka menerapkan kebijakan yang tegas untuk menginternir orang Eropa ke kamp-kamp, dan memilih berusaha menjalin kerjasama dengan pribumi. Dibalik itu Jepang juga menerapkan standar ganda untuk kaum Indo. Banyak diantara kaum Indo yang turut dimasukkan kedalam kamp konsentrasi, namun disisi lain juga Jepang menginginkan kaum Indo untuk bersama pribumi mensukseskan propaganda Jepang sepanjang Perang Dunia II di Pasifik.

Akhirnya Jepang berusaha merangkul kaum Indo dengan menganggap mereka sebagai pribumi, dan dengan sendirinya harus menjadi bagian dari Asia Raja yang dipropagandakan Jepang. Dahler pun dipilih untuk menjadi salah satu juru bicara kaum Indo bersama A.Th.Bogaart. Pada Agustus 1943 Jepang mendirikan Kantor Oeroesan Peranakan sebagai pusat usaha pengintegrasian kaum Indo untuk bersama kaum pribumi membentuk Asia Timoer Raja. Dikepalai oleh Hamaguchi Shinpei, lembaga ini antara lain beranggotakan Dahler.

Dahler, yang dianggap tokoh golongan Indo yang pro Indonesia, bertugas sebagai penghubung antara kaum Indo dengan pemerintah Jepang. Tugas yang sulit, mengingat masih banyak kaum Indo yang lebih merasa terkait dengan kaum Eropa totok di lapisan atas masyarakat, dibandingkan dengan kaum pribumi. Suratkabar Tjahaja tanggal 27 Januari 1943 memuat pernyataan Dahler yang menganjurkan pilihan kaum Indo untuk bekerjasama dengan Jepang. Namun hal tersebut tidaklah mudah, karena tidak seperti Boogarts yang dihargai di mayoritas kalangan Indo (yang merasa lebih sebagai Eropa daripada pribumi), pro-Indonesianis seperti Dahler tidak begitu dihargai.

Kantor Urusan Peranakan

Salah satu cara Jepang membujuk kaum Indo adalah dengan menyuruh mereka memilih, mengidentikkan diri dengan kaum pribumi dan bekerjasama dengan Jepang, atau tetap menjadi tahanan kamp konsentrasi. Kebijakan tersebut diputuskan dalam rapat Jepang dengan Dahler bulan Januari 1944. Kebutuhan akan sumber daya manusia membuat Jepang berusaha membujuk kaum Indo dengan iming-iming bahwa keluarga mereka akan ikut dibebaskan pada momen ulang tahun kaisar pada bulan April jika mereka (lelaki kaum Indo) bekerjasama dengan Jepang.[8]

Bujukan Jepang ternyata tidak berjalan efektif untuk membujuk kaum Indo bergabung. Jepang pun memulai gaya represif dalam menangani kaum Indo dengan menahan lebih banyak lagi kaum Indo yang enggan bergabung. Jepang, yang menganggap Dahler kurang tegas dalam membujuk kaum Indo untuk bergabung, tahun 1944 akhirnya mengutus seorang pro asimilasi yang lebih radikal, yaitu P. H. van den Eeckhout. Dahler sebenarnya tidak menyukai gaya militan Eeckhout, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena Eeckhout diutus langsung oleh Jepang.

Pada saat Jepang membentuk Badan Penyelidik Urusan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), nama Dahler masuk menjadi salah satu anggota. Ia hadir dalam kedua rapat BPUPKI (29 Mei – 1 Juni dan 10 Juni – 17 Juli 1945). Dalam rapat 10 Juni, Dahler terlibat aktif dalam beberapa isu, yang paling penting dan pelik adalah isu mengenai siapa-siapa saja warganegara Indonesia kelak. Dahler, yang hadir sebagai perwakilan warga peranakan, bersama A.R Baswedan (mewakili warga keturunan Timur Tengah) dan Liem Koen Hian (mewakli warga keturunan China), menanggapi usulan M.Yamin bahwa untuk warga non pribumi dapat diberikan hak repudiatie (penolakan) terhadap status kewarganegaraan Republik Indonesia. Dahler berpendapat bahwa hak repudiatie dapat memicu masalah kewarganegaraan ganda, dan oleh sebab itu, harus dibuat sebuah Undang-undang khusus yang mengatur masalah kewarganegaraan kaum peranakan tersebut. Undang-undang khusus ini kemudian berhasil dibuat namun pada perjalanannya berubah-ubah sesuai kondisi politik Indonesia, dan undang-undang terkini yang mengatur masalah kewarganegaraan bagi non pribumi ada di UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Setelah proklamasi Dahler makin gencar mengusahakan asimilisasi kaum Indo kedalam republik. Dahler pun bergabung dengan Partai Nasional Indonesia yang dipimpin Soekarno. Namun kondisi keamanan dan euforia revolusi berdampak besar (dan negatif) bagi perjuangan Dahler. Dalam masa yang sering disebut masa “Bersiap” ini (1945-1949) telah terjadi banyak kasus kekerasan berdarah terhadap kaum Indo yang dilakukan oleh para revolusioner republik dari kaum pribumi. Robert Cribb dalam Gangsters and revolutionaries, the Jakarta peoples militia and the Indonesian revolution 1945-1949 melukiskan masa Bersiap di Jakarta sebagai ” terrifying time of regular looting, robbery, kidnapping and random murders were Europeans and Indo-Europeans disappeared even from the heart of the city, to be found floating in the ‘kali’ (canals) days later“. Pembunuhan dan seringkali penyiksaan acak kepada kaum Indo Eurasia terjadi dalam skala besar di beberapa tempat.  Pada 12 Oktober 1945 tercatat 42 pemuda Indo dibunuh di Simpang Club Surabaya, dan ratusan lainnya ditangkap dan disiksa di Penjara Kalisosok. Sepanjang 1945-1946, di Bandung tercatat sekitar 1.200 orang sipil yang dicurigai pro Belanda oleh pada pejuang revolusi tewas dibunuh.

Kekacauan dan kekejaman yang terjadi tersebut menambah sulit upaya asimilasi yang berpuluh-puluh tahun telah diperjuangkan Dahler. Gelombang repatriasi (migrasi kaum Indo yang tak pernah menginjak Belanda sebelumnya, ke Belanda) yang terjadi menyusul kejadian-kejadian tersebut, akhirnya membuat Dahler tidak akan pernah melihat cita-cita asimiliasinya tercapai.

Pada 12 April 1946 Dahler ditangkap oleh pasukan Belanda, karena dianggap pernah bekerjasama dengan Jepang. Ia ditahan berpindah mulai dari Penjara Glodok, Gang Tengah, dan Pulau Onrust. Pada 15 April 1947, karena dianggap hanya berkolaborasi secara moral dengan Jepang, dan tidak ada kejahatan yang dilakukan terhadap warga Belanda di masa Jepang,  Dahler diberi amnesti dan dibebaskan. Hari itu juga Dahler langsung bergabung ke Yogyakarta, yang saat itu menjadi Ibukota Republik.

Setelah kemerdekaan, pemerintah memandang perlu untuk mendirikan sebuah lembaga yang bertugas menangani masalah bahasa persatuan, bahasa Indonesia, yang belum terlalu umum dan dikenal sebagai sebuah konsep utuh, bahkan di wilayah republik sekalipun. Maka pada Juni 1947 pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Pekerja Bahasa Indonesia, yang diketuai K.R.T. Amin Singgih (kelak menjadi penulis beberapa buku penting dalam studi Bahasa Indonesia). Tim Panitia Pekerja Bahasa Indonesia kemudian pada Februari 1948 mencetuskan lembaga yang berkewajiban mempelajari bahasa persatuan Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, serta memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkenaan dengan bahasa-bahasa tersebut, bernama Balai Bahasa. Dahler dipilih sebagai pemimpin Balai Bahasa, karena pengetahuan dan pengalamannya yang luas akan literatur dalam bahasa Melayu, yang menjadi dasar Bahasa Indonesia, juga kemampuan multilingualnya. Kantor pertama Balai Bahasa sendiri terletak di gedung Sekolah Guru Puteri, Jalan Jati 2, Yogyakarta.

Namun medio April 1948 Dahler tua mendadak jatuh sakit. Berita rilisan Antara tanggal 7 Juni 1948 menyebutkan Dahler sudah dua bulan berada di Rumah Sakit Pusat Yogyakarta karena terkena infeksi. Pukul sembilan malam tanggal 7 Juni itu pula Dahler akhirnya meninggal dunia di usianya yang ke 67. Jenazahnya disemayamkan sehari sebelum dikebumikan di Pemakaman Mrican pukul empat sore keesokan harinya. Tercatat yang hadir di pemakamannya untuk menghormati Dahler adalah Wakil Presiden merangkap perdana Menteri Moh.Hatta, Ketua Delegasi Republik, Menteri pendidikan Ali Sastroamidjoyo, Menteri keuangan A.A Maramis, Menteri penerangan M.Natsir, Menteri Luar Negeri Agus Salim, Menteri kemakmuran Sjafruddin Prawiranagara, Jaksa Agung Tirtawinata,  ketua Dewan Pertimbangan Agung Margono Djojohadikusumo, guru-guru besar lembaga-lembaga pendidikan tinggi, serta Wakil-wakil partai, PKI, PNI, dan Masyumi. Pemakaman Dahler sendiri dilakukan secara Protestan dipimpin oleh Domine Harahap dari BOPKRI.

 


[1] Antara 9 Juni 1948 dikutip dari Toer, Pramudya Ananta, dkk. 1999. Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946). Kepustakaan Populer Gramedia.
[2] Touwen-Bouwsma, E. 1996.  Japanese minority policy; The Eurasians on Java and the dilemma of ethnic loyalty. 152, no.4. (Publisher: KITLV, Leiden) Hlm.39
[3] Jedamski, Doris. 1999. Kebijakan Kolonial di Hindia Belanda. Leiden. Dikutip dari https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/15116/Microsoft%20Word%20-%20jedamski-bijak%20I%20030408.pdf?sequence=5
[4] Touwen-Bouwsma, E. Op.cit. Hlm.39
[5] Van Der Veur. Introduction to a Socio Political Study of the Eurasians of Indonesia. Hlm 163.
[6] Rosidi, Ajip. 2010. Kita Benar-Benar kehilangan. Achdiat K. Mihardja (1911-2010).
[7] Raditya, Iswara.N. 2011. Paman Sam Melayu dari Minahasahttp://melayuonline.com/ind/opinion/read/468/paman-sam-melayu-dari-minahasa
[8] Fields, D. Of, the Japanese civilian camps. Hlm. 446.
[9] Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912 – 1926. Pustaka Utama Graffiti.

About oomindra

Marketing, antusias terhadap sejarah, musik, dan beberapa hal lain
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment