Yang Muda Yang Memaksa : Golongan Muda dalam 17 Agustus 1945

Orang tua dan anak muda itu seringkali seperti dua sisi rel kereta, selalu berdampingan berjalan, tujuannya sama, jalannya tidak pernah bertemu satu sama lain.

Pendudukan Jepang semenjak tahun 1942 adalah sebuah revolusi yang kasar. Sistem penghisapan darah yang berkedok kehalusan dan keteraturan selama kurang lebih 140 tahun yang dijalankan kolonial Hindia-Belanda dengan waktu yang cepat berganti dengan penghisapan darah yang nyaris tanpa kedok. Propaganda “Saudara Tua” ataupun 3A tidak bisa disebut topeng, hanya riasan yang cukup tebal, yang terhapus dalam hitungan hari. Sistem yang sama sekali baru langsung berlaku. Sistem kepemilikan, sistem pendidikan, sistem bahasa, sistem kependudukan, sistem militer, dan sistem moral dan susila diganti seolah hanya tinggal merobek lembaran kertas dan menulis yang baru dengan pensil. Seluruh kebutuhan wilayah kolonial dibebankan pada rakyat, sementara raga pemerintah kolonial Jepang sedang berkonsentrasi bersenyum sapa dengan Adolf Hitler dan Benito Mussolini.

Dalam kondisi aneh tersebut, para pegiat pergerakan mengambil caranya masing-masing dalam mempertahankan visi dan misi mereka. Tan Malaka, menceburkan diri dalam kesedihan para pekerja pabrik sepatu di Kalibata dan Cililitan, menghasilkan MADILOG, dan lalu beranjak ke Bayah, Banten Selatan untuk mendekatkan diri pada salah satu kehidupan paling menyedihkan, kehidupan para Romusha. Sedangkan Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Mas Mansyur menyiasati kekejaman Jepang dengan mengambil langkah kooperatif, berkarya di organisasi-organisasi Jepang, yaitu Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), dan kemudian Jawa Hokkokai. Tapi kemanakah Sutan Sjahrir?

Sjahrir ternyata memiliki pandangan lain dalam menyiasati keadaan pendudukan Jepang. Di masa pendudukan Jepang, secara mencolok para pemuda diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang berbau militeristik Jepang. Penduduk laki-laki usia muda, baik yang tidak bisa membaca hingga para mahasiswa tak luput dari “ajakan” Jepang untuk berlatih secara militer. Arus propaganda yang terlalu deras diinfiltrasikan Jepang pada pemuda-pemuda ini menghasilkan kemuakan ideologis dan fisik pada para pemuda. Sjahrir memanfaatkan kejenuhan para pemuda, dan menyulap kemuakan itu menjadi perasan dan pemikiran-pemikiran yang kritis, yang berujung pada gerakan-gerakan bawah tanah para pemuda.

Gerakan-gerakan itu terpusat di Jakarta, di asrama-asrama mahasiswa. Ada gerakan di Asrama Mahasiswa Kedokteran, Asrama Angkatan Baru Indonesia, dan kemudian menyusul Asrama Indonesia Merdeka. Asrama Mahasiswa Kedokteran secara ideologis dekat dengan Sjahrir, berhaluan sosial-demokrat dan tidak setuju dengan tindakan kooperasi pergerakan dengan pemerintah Jepang.

Sedangkan Asrama Angkatan Baru Indonesia yang berpusat di Jl.Menteng 31 adalah gerakan yang berasal dari bentukan Departemen Propaganda Jepang, tetapi oleh para anggotanya diselewengkan, sehingga memiliki ciri pergerakan yang progresif dan beragam. Kursus-kursus tentang nasionalisme yang diberikan Jepang kepada asrama ini justru menjadi bekal pemikiran nasionalisme Indonesia mereka. Soekarno dan Hatta pun pernah menjadi “kompor” bagi asrama ini. Tokoh-tokoh asrama ini adalah Chairul Saleh, Sukarni, Dipa Nusantara Aidit, dan Lukman. Asrama ini menjalin kerjasama dengan para pemuda yang lebih senior, seperti Adam Malik, B.M. Diah, serta Anwar dan Harsono Tjokroaminoto.

Satu pusat kegiatan pemuda yang menarik adalah Asrama Indonesia Merdeka. Asrama ini didirikan pada bulan Oktober 1944 oleh Laksmana Tadashi Maeda. Asrama ini dipimpin oleh Subardjo dan Wikana, serta Sjahrir sebagai mentor. Apa yang mendasari Maeda mendirikan asrama ini dan kemudian terlibat banyak dalam kemerdekaan Indonesia masih menjadi pertanyaan dan memiliki banyak versi jawaban. Asrama Angkatan Baru Indonesia dan Asrama Indonesia Merdeka kemudian menjalin hubungan kerjasama yang erat. Banyak anggotanya yang menjadi anggota rangkap di kedua asrama.

Pada pertengahan 1944 Jepang memaksakan mendirikan organisasi pemuda bernama Angkatan Muda, dan memaksa para pemuda untuk ambil bagian didalamnya, dengan tujuan untuk mengontrol pergerakan politik para pemuda. Di Jakarta Sukarni dan Chairul Saleh dipaksa menduduki tempat pimpinan. Namun paksaan hanya akan mendorong dendam menjadi lebih besar. Kemudian terbukti bahwa para anggota Angkatan Muda tidaklah melunak, bahkan semakin keras dan radikal. Hal itu dibuktikan bahwa dalam Kongres Pemuda di Bandung tangal 18 Mei 1945, yang diprakarsai oleh Jepang melalui paksaan terhadap Angkatan Muda, malah menjadi wadah para pemuda seluruh Nusantara untuk bersatu dan berkonsensus dengan dua buah resolusi. Yang pertama, “Semua kelompok Indonesia harus dipersatukan di bawah satu pimpinan” dan yang kedua : ”Dan kemerdekaan Indonesia harus secepat mungkin menjadi kenyataan.”. Kemudian dicapai pula kesepakatan bahwa kongres ini akan disambung dengan kongres-kongres daerah yang dipimpin oleh para utusan daerah masing-masing yang hadir pada Kongres Pemuda ini.

Setelah kongres, gerakan para pemuda makin politis. Pada 15 Juni 1945 gabungan para pemuda Angkatan Muda membentuk gerakan sampingan yang idealis bernama Angkatan Baru, dan berperan sebagai kelompok politik ilegal. kelompok ini dipimpin B.M. Diah, Sukarni, Chairul Saleh, Anwar dan Harsono Tjokroaminoto dan Pandu Kartawiguna. Haluan kelompok ini jauh lebih radikal dari gerakan apapun yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Dan menyulut Jepang untuk melarang setiap konperensi apapun dari kelompok ini.

Haluan pergerakan membuat para pemuda ini menemui jurang perbedaan dengan golongan pemimpin tua. Mereka menginginkan bahwa kemerdekaan harus dicapai sendiri tanpa bantuan Jepang, sementara para pemimpin tua lebih memilih mempersiapkan kemerdekaan dengan persetujuan Jepang melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Mungkin mereka lupa bahwa pada awal pergerakan mereka ada peran penting dari Laksamana Maeda.

Ketika tersiar kabar bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945, para pemuda langsung mencari keberadaan Soekarno dan Hatta, untuk memanfaatkan keadaan vacuum of power ini untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tapi rupanya mereka harus menunggu dwitunggal pulang dari Dalat. Mereka pun mencegat Soekarno-Hatta di bandara dan memberitahukan kabar tersebut. Hatta mencoba mengkroscek kebenaran berita tersebut ke berbagai sumber, dan dia mendapat jawaban positif. Namun Soekarno-Hatta sebagai pimpinan BPUPKI (yang telah berubah nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia /PPKI) tentunya harus menyelenggarakan rapat PPKI dahulu sebelum memutuskan proklamasi akan dilaksanakan. Dan jawaban itu menimbulkan kekecewaan para pemuda.

Mereka lalu mengadakan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta. Rapat dilaksanakan pada tanggal 15 agustus 1945, pukul 20.30 waktu Jawa. Rapat yang dipimpin oleh Chairul Saleh itu menghasilkan keputusan ” kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan pada orang dan negara lain. Segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang harus diputuskan dan sebaliknya diharapkan diadakan perundingan dengan golongan muda agar mereka diikut sertakan dalam pernyataan proklamasi.” Keputusan rapat itu disampaikan oleh Wikana dan Darwis pada pukul 22.30 waktu Jawa kepada Soekarno di rumahnya, Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Kedua utusan tersebut segera menyampaikan keputusan golongan muda agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu hadiah dari Jepang. Tapi darah muda yang menggelegak membuat penyampaian keputusan itu disertai dengan ancaman bahwa akan terjadi pertumpahan darah jika Soekarno tidak menyatakan proklamasi keesokan harinya. Hal itu tidak menggoyahkan pendirian Soekarno-Hatta, yang bahkan menantang balik para pemuda apakah mereka mampu menjalankan proklamasi itu oleh mereka sendiri. Wikana dan Darwis yang menyadari bahwa proklamasi membutuhkan Soekarno-Hatta, akhirnya terpaksa pulang dengan kecewa.

Darwis dan Wikana pulang menuju Jl.Cikini 71, dimana para pemuda berkumpul. Sampai sana mereka melaporkan tanggapan Soekarno-Hatta. Lalu  kembali menggelar rapat dini hari itu juga. Selain dihadiri oleh para pemuda yang mengikuti rapat sebelumnya, rapat ini juga dihadiri juga oleh Sukarni, Jusuf Kunto, dr.Muwardi dari Barisan Pelopor dan Shudanco Singgih, Daidan PETA Jakarta Syu. Rapat ini membuat keputusan “menyingkirkan Soekarno dan Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang”. Untuk menghindari kecurigaan dari pihak Jepang, Shudanco Singgih mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan rencana tersebut.

Sekitar pukul 03:30 pagi harinya, para pemuda telah menyiapkan dua buah mobil. Satu mobil untuk ‘menjemput’ Soekarno, satu mobil lagi untuk menjemput Moh.Hatta. Kira-kira sehabis sahur tim penjemput Soekarno telah mencapai Pegangsaan Timur 56. Dan berhasil membawa Soekarno, yang disertai Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra. Setelah bertemu dengan mobil yang membawa Hatta, di Jatinegara, kendaraan pembawa diganti dengan dua kendaraan PETA, agar mudah lolos dari pemeriksaan militer Jepang, dan Soekarno lalu lanjut lagi kearah Karawang, hingga tiba sekitar pukul 06:30 pagi di kantor PETA Chudan Rengasdengklok. Oleh Sukarni dan Singgih yang telah menunggu, Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur dibawa ke rumah milik Djiau Kie Siong, seorang petani Tionghoa.

Tak lama setelah itu, mereka kedatangan beberapa tokoh, antara lain Mr.Soebardjo. Setelah kedatangan Soebardjo, para pemuda pun mohon ijin masuk rumah untuk berunding, lagi-lagi tentang waktu proklamasi kemerdekaan. Argumen para pemuda bahwa proklamasi harus dilakukan secepatnya, didukung oleh fakta terbaru bahwa tanggal 15 malam Jepang sudah mengeluarkan keputusan untuk melucuti senjata PETA. Dan jika PETA terlanjur dilucuti, maka tak ada jaminan perlindungan atas proklamasi dan para proklamator itu sendiri ketika nanti seandainya terjadi gonjang-ganjing pasca proklamasi. Hingga akhirnya Soekarno menyetujui bahwa esok hari, tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10:00 proklamasi akan diproklamirkan. Menjelang ashar, rombongan Soekarno-Hatta dibawa kembali menuju Jakarta.

Wikana, A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar lalu menyusun rapat singkat. Masing-masing membagi tugas untuk persiapan penyelenggaraan proklamasi. Djohar Noer, S.K. Wijoto dan Ridwan Bazar bertugas menghubungi kantor berita Domei dan kantor Radio Hosokioku. Pardjono mengurus stensil dan penyebaran kabar proklamasi kemerdekaan.  Sementara itu Wikana bertugas mengatur semua keperluan pembacaan proklamasi di rumah Soekarno. Dia juga memastikan kesediaan Laksamana Maeda untuk menjadikan rumahnya sebagai tempat perumusan naskah proklamasi. Wikana pulalah yang mengatur agar para Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk tidak mengganggu jalannya proklamasi. Melalui perantara Subardjo, Wikana memang punya hubungan luas di kalangan Jepang, tidak terkecuali di kalangan intelijen Kaigun.

Setelah tiba, Soekarno mendapat kabar bahwa Jepang berkhianat, dan akan menyerahkan Indonesia kepada Sekutu. Beliau pun secara kilat menyusun jadwal rapat penyusunan proklamasi dengan PPKI, dengan mengambil tempat di rumah Laksamana Maeda, untuk menghindari kecurigaan Jepang, dengan para pemuda diperbolehkan ikut ambil bagian. Sebelum rapat, pukul 22.00 Soekarno-Hatta disertai Laksamana Maeda berangkat ke tempat Letjen Yamamoto Moichiro selaku pimpinan militer Jepang untuk mengkonfirmasikan kekalahan Jepang serta melaporkan akan adanya proklamasi esok hari. Moichiro, yang berencana menyerahkan Indonesia pada sekutu memerintahkan agar rencana kemerdekaan ditunda. Soekarno-Hatta yang kecewa walk out dari ruangan. Uniknya Maeda pun mempertaruhkan karirnya setelah ia pun ikut walk out dari ruangan itu.

Para pemuda yang sudah berkumpul dan berjaga di rumah Maeda beserta para anggota PPKI, menunggu datangnya konfirmasi dari Soekarno-Hatta. Setelah Soekarno-Hatta tiba membawa kabar genting dari Jepang, penyusunan teks proklamasi yang singkat pun dilakukan, karena tak ada seorang anggota PPKI pun yang membawa naskah teks proklamasi yang telah dirumuskan sebelumnya dalam rapat PPKI tanggal 22 Juni 1945. Penyusunan teks singkat ini dilakukan di ruangan yang terpisah oleh Soekarno-Hatta, Soebardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik.

Setelah naskah selesai, Soekarno-Hatta meminta semua yang hadir untuk menandatangani naskah tersebut, namun entah apa yang mendasari para haridin, khususnya para pemuda, enggan mencatatkan diri dalam sejarah bangsa dengan menolak menandatangani naskah tersebut, dan meminta agar Soekarno-Hatta yang menandatanganinya atas nama Bangsa Indonesia.

Dan keesokan harinya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan.

Peran golongan muda ini berlanjut hingga masa setelah kemerdekaan. Sukarni membentuk Comite Van Aksi (semacam panitia gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya menyebarkan kabar kemerdekaan ke seluruh Indonesia, dan membantu konsolidasi golongan-golongan di Indonesia melalui pembentukan API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan BBI (Barisan Buruh Indonesia) serta lalu aktif di gerakan oposisi Persatuan Perjuangan bersama Tan Malaka tahun 1946. Setelah Persatuan Perjuangan dibubarkan ia aktif di partai MURBA sejak tahun 1948 sampai ketika MURBA dibekukan tahun 1965. Sukarni pernha menduduki kursi konstituante, hasil pemilihan umum 1955, juga pernah menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Republik Rakyat China tahun 1961-1964, dan di akhir karirnya duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung tahun 1967 dibawah Orde Baru, hingga wafat tanggal 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Sedangkan Wikana yang setia pada jalur pemikiran politik kiri, bertualang di berbagai gerakan politik dan kepemudaan, mulai dari Partai Nasional Indonesia pada Agustus 1945, Angkatan Pemuda Indonesia di tahun yang sama, membentuk Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) juga di tahun yang sama hingga terpilih sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda dalam Kabinet Sjahrir dan Amir Sjarifuddin I dan II. Pernah pula menjadi Gubernur Militer Surakarta pada masa Kabinet Hatta, untuk kemudian aktif bersama Partai Komunis Indonesia dibawah Aidit, Lukman dan Njoto. Pada peristiwa 30 September 1965, Wikana sedang mewakili PKI menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Kemudian ia pulang ke Indonesia pada 5 Oktober dan tiba di Jakarta pada 10 Oktober 1965 dan langsung diciduk dan ditahan selama dua hari, dipulangkan, dan dijemput lagi pada 9 Juni 1966 di rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat, dan hilang tak berbekas.

Chairul Saleh sendiri aktif di pemerintahan pasca proklamasi. Ia tercatat menduduki beberapa jabatan kenegaraan seperti Menteri Negara Urusan Veteran di Kabinet Djuanda (1957), Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja I (1959-1960), Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan, Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1960-1963), Wakil Perdana Menteri III, Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I (1963-1966) dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (1960-1965). Pasca peristiwa 30 September 1965, Chairul Saleh termasuk yang ditahan tanpa alasan resmi oleh pemerintah, dan meninggal dalam status tahanan tahun 1967.

Sumber :

About oomindra

Marketing, antusias terhadap sejarah, musik, dan beberapa hal lain
This entry was posted in Sejarah, Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment