Apa Gunanya Wiji Thukul?.

Kata para filsuf abad 21, zaman ini cocok jika dinamakan zaman post-truth, atau terjemahannya, zaman pasca-kebenaran. Katanya lagi, “kebenaran” sudah kembali menjadi sesuatu yang sangat relatif, penuh subjektivitas, dan tidak bebas nilai. Manusia yang bersimbiosis dengan internet sudah akan terlalu lelah untuk menemukan kebenaran ala kaum positivis di tengah gempuran berita palsu, viralisasi, glorifikasi, framing, dan banyak lagi tipu daya media.

Salah satu tipu daya era sekarang yang paling melenakan adalah kebiasaan mencomot kutipan (“quotes”) para tokoh terkenal, untuk melegalisasi pandangan, aksi, atau bahkan omdo tertentu. Tokoh paling malang tentu Yesus dan Muhammad. Juga ada Ernesto Guevara, John F.Kennedy, Mohandas Gandhi, Soekarno, dan beberapa negarawan, politisi, akademisi, serta filsuf lain. Rata-rata adalah tokoh dengan sejarah besar, dengan kata-kata yang kuat, sehingga bisa memberikan dukungan moril yang kuat terhadap si pencomot.

Tapi kutipan “Hanya ada satu kata, lawan!” sedikit berbeda. Kalimat yang sangat banal terasa akhir-akhir ini. Dicomot oleh mahasiswa yang berdemo, atau sebagian gerakan buruh yang ditunggangi kekuatan-kekuatan tertentu, dan tak lupa, para analis politik Facebook. Kutipan ini datang dari seorang buruh pelitur dengan ijazah SMP. Seorang anak tukang becak katolik miskin di Solo, Wiji Thukul. Puisi-puisi Thukul adalah realita yang dilihatnya sehari-hari. Olehnya hadirlah pemilihan kata yang umum, deskriptif, cenderung tidak puitik. Namun semua karakter itu membuat karya Thukul sangat kontekstual. Dunia Thukul bukan dunia yang merasa perlu mengapresiasi pilihan kata-kata dalam puisi. Dunia Thukul lebih perlu mengapresiasi rasa cemas akan ada tidaknya makanan besok hari. Silahkan baca “Kesaksian” untuk meyakinkan.

Oleh karena itu, keberadaan film “Istirahatlah, Kata-Kata” mungkin bisa  ditempatkan sebagai sebuah fenomena ke-Wiji Thukul-an yang menarik dari dua sudut pandang, sudut pandang film tersebut sebagai film, dan sudut pandang impact dari film.

Film ini dikemas cukup baik oleh sutradara Anggi Noen. Saya rasa konsep besarnya adalah de-kultus-isasi Wiji Thukul. Wiji Thukul, dan Sipon, di sini tidak diceritakan sebagai penyair pemberani yang mengorganisir ribuan buruh, tidak pula digambarkan momen-momen heroik Thukul (yang tentunya bisa lebih marketable) seperti saat wajahnya dipopor senapan, atau saat nyaris buta karena kepalanya dihantamkan ke kap mobil. Melainkan seorang buron miskin yang takut tertangkap, takut menyusahkan orang-orang dekatnya, tapi kesepian, jauh, dan sangat rindu pada keluarga. Tidak ada ideologi, slogan pergerakan, manifes, atau bahkan orasi.  Penokohan, akting, dialog, adegan, simbol, sound, warna, dan jalan cerita menyatakan itu semua. Tidak ada scoring megah, hanya keheningan keheningan yang sepi, rindu, tapi kadang mencekam. Berulang kali kita bisa sangat jelas mendengar helaan nafas yang berat, hisapan ingus, dan isak tangis yang tertahan. Warna yang ditampilkan sangat minim kontras, dan bisa dibilang sangat realistis dalam konteks. Penonton pun banyak disuguhi gambar latar yang diam, membingkai para pemeran bermain emosi dan dialog-dialog kesepian, kerinduan, dan ketakutan dengan sangat baik.

Konsep seperti ini tentunya akan sangat baik impact-nya untuk masyarakat luas memahami Wiji Thukul secara utuh. Bahwa tak satu pun dari apa yang ia tulis, berjarak dengan realitas yang dia hadapi. Dia menulis tentang buruh, karena dia adalah buruh, atau setidaknya, memahami kondisi kaum buruh. Thukul menulis tentang ibunya, tentang ayahnya yang tukang becak, tentang adiknya yang tidak bisa bayar SPP, tentang anaknya, Fitri. Tidak hanya sebagai si “hanya ada satu kata : lawan!”, tapi juga Wiji Thukul yang manusia biasa. Manusia yang bisa lapar, bisa takut, bisa mabuk, bisa horny, bisa kesepian, tapi memutuskan berani melawan sesuatu kejahatan besar yang siap menelan siapapun yang merintangi. Bahwa tak perlu memiliki kekuatan super seperti Pius Lustrilanang, kemampuan sastrawi seperti Taufiq Ismail atau Sapardi Djoko Damono, pengetahuan politik setara Budiman Sujatmiko, atau trah bangsawan seperti Megawati Sukarnoputri, untuk menjadi Wiji Thukul. Seakan ditegaskan, apa gunanya Wiji Thukul, jika semua hanya mengutip terus menerus Wiji Thukul untuk menjadi Wiji Thukul.

Jadilah bunga-bunga dari biji yang disebar Wiji di tembok. Menghancurkan dinding yang ditabrak Wiji Thukul hingga mati.

About oomindra

Marketing, antusias terhadap sejarah, musik, dan beberapa hal lain
This entry was posted in Budaya, Film, Politik, Sejarah, Tokoh and tagged , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment